Rabu, 17 Agustus 2011

ROBOT UPACARA KEMERDEKAAN

Hmmm banyak cara memeriahkan upacara kemerdekaan, klo manusia yang upacara dah biasa... gimana ya klo robot yang upacara....

hmm ga kebayangkan ini merupakan upacara bendera indonesia yang pertama yang dilakukan oleh robot...



untuk video bisa lihat ini:


untuk  gambar dibawah ini:

















































  

Readmore »»

Minggu, 07 Agustus 2011

PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUALITAS SANAD DAN MATANNYA

( HADITS SHAHIH, HADITS HASAN DAN HADITS DHAIF)
I. HADITS SHAHIH

A.     Definisi

1. Definisi Ibn ash-Shalah.
Abu Amr ibn ash-shalah mengatakan :
“Hadits shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil yang melalui periwayatan orang yang adl lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syad dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).
2. Definisi Imam Nawawiy
“Hadits shahih adalah hadits yang miuutashil sanadnya melalui (periwayatan) orang-orag yang adil lagi dhabit tanpa syad dan ‘illat.

Dari uraian di atas jelaslah, bahwa hadits shahih harus memenuhi lima syarat :
a).  Muttashil sanadnya. Dikecualikan hadits munqothi’, mu’dhal, mu’allaq, mudallas     dan jenis lain yang tidak memenuhi kriteria muttashil ini.
b).  Perowi-perowinya adil. Yaitu orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan keperwiraannya.
c).  Perawi-perawinya dhobit. Yaitu orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadit, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya. Perawi harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkannya (bila ia meriwayatkan darihafaalannya) serta memahaminya (bila ia meriwayatkannya seca-ra makna). Dan harus menjaga tulisannya dari perubahan, penggantian ataupun penambahan, bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
d).  Yang diriwayatkan tidak syad. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah penyimpa- ngan oleh perawi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya.
e).  Yang diriwayatkan terhindar dari ‘illat qadihah (‘illat yang mencacatkannya), seperti memursalkan yang maushul, memuttashilkan yang munqothi’, ataupun memarfu’kan yang mauquf.

3. Definisi yang terpilih


          “Hadits shahih adalah hadits yang muttashilsanadnya melalui priwayatan perawi tsiqat dari perawi (lain) yang tsiqat pula, sejak awal sampai akhir sanad tanpa syudzudz dan tanpa ‘illat.

A.     Klasifikasi Hadits Shahih

   Hadits shahih terbagi menjadi dua :
a).  Shahih li Dzatihi.
    Yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti pengertian hadits shahih yang telah dijelaskan di atas.
b).  Shahih li Ghairihi.
      Yaitu hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misal-nya perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas intelektualnya rendah).

II. HADITS HASAN

A. Definisi
Definisi Ibn Hajar
            “Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih seluruhnya, hanya saja semua perawinya atau sebagiannya kedhabitannya lebih sedikit dibanding kedhabitan para perawi hadits shahih.

            Definisi yang terpilih
            “Hadits hasan adalah hadits yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adilyang lebih rendah kedhabitannya tanpa syad dan tanpa ‘illat.

  1. Klasifikasi Hadits Hasan
            Hadits hasan terbagi menjadi dua ;
            a).  Hasan li Dzatihi
                  “Hadits yang kehasanannya muncul karena memenuhi syarat-syarat tertentu,    bukan karena faktor lain diluarnya.
            b).  Hasan li Ghairihi
                  “Hadits yang didalamnya terdapat perawi “mastur” yang belum tegas kualitasnya, tetapi bukan perawi yang pelupa atau sering melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan “muttaham bil kidzb” dalam hadits, juga bukan karena sebab lain yang dapat menyebabkannya tergolong fasik, tapi dengan syarat mendapatkan penguat dari perawi lain yang mu’tabar, baik berstatus muttabi’ maupun syahid.

Imam adz-Dzahabi mengatakan : “Tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari ka- keknya, Ibnu Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian ulama’ dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.

Sedangkan sanad yang diperselisihkan antara hasan dan dha’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.

III. HADITS DHA’IF

A. Definisi
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima”. Mayoritas ulama’ menyatakan : Hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.

  1. Klasifikasi Hadits dha’if
Hadits dha’if  banyak sekali jenisnya dan banyak sekali sebab-sebab kedha’ifannya. Sebab-sebab itu dapat dikembalikan pada satu diantara dua sebab pokok, yaitu:
            Hadits-hadits dha’if karena ketidakmuttashilan sanadnya yaitu:
           
1).  Hadits Mursal
                  “Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada Rosul SAW., baik berupa  sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’iy itu kecil atau besar.”
           
            Menurut ulama’ fiqh dan ushul, hadits mursal adalah hadits yang perawinya melepas-kannnya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya.
            Hukum Mursal Tabi’iy
            a).  Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
            b).  Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
            c).  bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.

            2). Hadits Munqathi’
“Hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau di dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham.” Contoh  hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrozaq dari Al-Tsaury dari Abu Ishaq dari Zaid Ibnu Yutsai dari Hudzaifah secara marfu’.

            3). Hadits Mu’dhal
     “Hadits yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-  turut.”
            Contoh diriwayatkan dari sebagian ahli hadits perkataan para penulis fikih: bahwa “Rasulullah saw. Bersabda begini-begini,” Termasuk mu’dhal. Karena diantara para penulis itu dengan Rasulullah terdapat dua perawi atau lebih.

            4). Hadits Mudallas
                  Tadlis secara etimologis berasal dari kata ad-Dallas yang berarti “adz-dzulmah” (kedzaliman).
Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sini dapat diambil perngertian tadlis dalam sanad, yakni menyembunyikan suatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya.
      Tadlis ada dua jenis;
a.       Tadlis al-isnad yaitu seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan suatu dari orang semasanya yang tidak pernah ia temui sebelumnya, atau pernah bertemu tapi yang diriwayatkannya itu tidak didengarnya dari orang tersebut, dengan cara yang menimbulkan dugaan mendengar langsung. Misalnya, “Fulan berkata”, “Dari Fulan”, “Sesungguhnya Fulan melakukan begini begini”.

Mengenai hukum tadlis ada tiga pendapat ;
1.      Sebagian ulama’ mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis,   maka ia akan menjadi majruh dan tertolak riwayatnya secara mutlak.
2.      Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima, karena tadlis sama dengan irsal.
3.      sebagian yang lain mengatakan bahwa ditolak setiap hadits yang mengandung tadlis. Meskipun perawi itu diketahui hanya sekali melakukan tadlis, baik yang menggunakan kata yang mengandung kemungkinan sima’ dan tidak tanpa menjelaskan sima’ secara langsung tetap tidak bisa diterima.telah menjelaskan adanya sima’.

b.      Tadlis asy-Syuyukh yaitu perawi tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya memberi nisbat ataupun memeberikan sifat yang tidak lazim dikenal.
Misalnya pernyataan Abu Bakar ibn Mujahid al-Muqri bahawa telah meriwayat-kan kepada kami Abdullah ibn Abi Abdillah. Yang dimaksud adalah Abdullah ibn
Abi Daud as-Sijistani, pemilik as-sunan. Abu daud tekenal dengan kun-yah seperti itu, bukan dengan Abu Abdillah.

5).  Hadits Mu’allal
      “Hadits yang tersingkap didalamnya ‘illah qadihah, meski lahiriahnya tampak ter-bebas darinya”. ‘Illatnya kadang-kadang pada sanad, kadang pada matan dan kadang pada sanad dan matan sekaligus.

            Hadits-hadits dha’if karena selain ketidakmuttashilan sanad :
           
1).  Hadits Mudha’af
“Hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya.” Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian yang lain menilainya kuat. Akan tetai penilaian dha’if itu lebih kuat. Karena tidak ada istilah mudha’af untuk hadits yang penilaian kuatnya lebih kuat. Ibn al-Jauziy merupakan orang yang pertama kali melakukuan pemilahan terhadap jenis ini.
           
            2).  Hadits Mudhtharib
“Hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih”. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih, maka penilaian diberikan kepada yang rajih itu. Dan dalam kondisi seperti ini tidak lagi digunakan istilah mudhtharib, baik untuk yang rajih maupun yang marjuh. Kemudhthariban dapat terjadi pada satu perawi atau sanad dan matan, tapi juga dapat terjadi pada sanad dan matan sekaligus. 

Kemudhthariban mengakibatkan kedhaifan suatu hadits, karena menunjukkan ketidakdhabitan. Padahal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu keadaan. Yaitu bila terjadi ikhtilaf mengenai nama seseorang perawi atau nama ayahnya, ataupun nama nisbatnya. Dan perawi yang diikhtilafkan amanya itu berkualitas tsiqat. Sehinnga haditsnya tetap dihukumi shahih ataupun hasan, sesuai dengan pemenuhannya terhadap syrat-syarat masing-masing. Dan kemudhthariban seperti itu tidak berpengaruh, meski tetap disebut hadits mudhtharib.  



            3).  Hadits  Maqlub
“Hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi dari matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya”. Kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama seorang perawi. Misalnya Murrah Ibn Ka’b jadi Ka’b Ibn Murrah.

Kadang-kadang suatu hadits diriwayatkan melalui jalur  perawi atau dengan sanad yang telah popular. Lalu tertukar dangan perawi (lain) pada tingkatannya atau dengan sanad (lain) yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja.
Terkadang seorang perawi sengaja membalikkan dengan tujuan menunjukkan yang aneh dengan harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan darinya.
Ada juga sebagian ulama’ yang sengaja membalikkan beberapa hadits dengan tu-juan mengetes (orang lain), seperti yang mereka lakukan pada Imam Bukhori di Baghdad. Jenis ini dibolehkan, dengan syarat untuk tujuan menguji.

            4). Hadits Syadz      
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa hadits syad bukanlah hadits dimana perawi tsiqat meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Yang dimaksud hadits syad adalah “Hadits yang bila diantara sekian perawi tsiqot ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya.”

Kriteria syad adalah tafarrud(kesendirian perawinya) dan mukholafah (penyimpa-ngan). Jika ada seorang perawi yang berkualitas tsiqat melakukan pe-nyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits tanpa menyimpang dari yang lainnya, maka haditsnya shahih, bukan syad. Dan jika ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfudz, sedang yang marjuh disebut syadz.
Contoh syad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidziy dari hadits Abdul Wahid ibn Yazid dari al-A’masy dari Abu Shalehdari Abu Huroiroh secara marfu’:
“Jika salah seorang diantara kamu telah melakukan shalat dua raka’at fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya”.
Al-Baihaqiy berkata : bahwa abdul Wahid berbeda dengan sejumlah perawi (lain) dalam hal ini. Perawi lain meriwayatkan dari perbuatan Nabi saw., bukan sabda-nya Abdul Wahid juga melakukan penyendirian dari sekian murid Al-A’masy  

5).  Hadits Munkar
“Hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang berbeda dengan perawi-perawi lain yang tsiqat”. Oleh karena itu, criteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah. Jika ada seorang perawi dha’if melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits,tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsiqat, maka haditsnya  tidak munkar, tetapi dha’if. Bila haditsnya ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqat, maka yang rajih disebut ma’ruf, sedang yang marjuh disebut munkar.

6).  Hadits Matruk dan Mathruh
1.      Hadits matruk
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “ muttaham bi al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraanya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa”. Hadits matruk merupakan tingkat hadits dha’if terendah. Misalnya hadits-hadits Amr Ibn Syamr dari Jabir al-Ja’fiy.

2.      Hadits matruh
 Al- Hafidz Adz-dzahabiy menjadikannya segagai jenis tersendiri. Beliau mengambil istilah itu dari tema ulama’ “Fulan Mathruh  al-Hadits” (seseorang yang terlempar haditsnya). Beliau mengatakan “Ia masuk dalam daftar hadits-hadits perawi dha’if lagi tertinggal haditsnya.

Readmore »»

HADITS MUTAWATIR DAN HADITS AHAD

I.Pembagian Hadits Secara Umum
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.


1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir menurut bahasa ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Hadis Mutawatir menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."


Ada juga yang mengatakan:
Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."


Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :


1.      Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

2.      Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk   tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a.  Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut   diqiyaskan dengan jumlah saksi yang      diperlukan oleh hakim.
b.       Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah            para Nabi yang mendapatkan          gelar Ulul Azmi.
c.  Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat           65).
d.  Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:


"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).




3.      Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir  
Para ulama membagi hadit mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

1. Hadits Mutawatir Lafdzi    Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."

Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."

Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :


Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
    Hadits mutawatir maknawi adalah :

Artinya :
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."



Artinya:
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaanpada lafaz."

Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
3. Hadis Mutawati Amali
    Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
2. Hadis Ahad
a. Ta’rif Hadis Ahad
Ahad menurut bahasa adalah satu. Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.

Hadis Ahad menurut istilah adalah:
Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b.Pembagian Hadis Ahad
Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.

1. Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”
Masyhur menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) tetapi belum mencapai batas mutawatir.
Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi (artinya) : ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Hadits masyhur ini juga disebut dengan nama Al-Mustafidh.
Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali; seperti :
a. Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim
b. Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya :
المسلمون من سلم المسلمون من لسانه ويده
”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya :
أبغض الحلال إلى الله الطلاق
”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if).
d. Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya :
إذا حكم الحاكم ثمٌ إجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فإجتهد ثمٌ أخطأ فله أجر
Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala, dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala
e. Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”tergesa-gesa adalah bagian dari perbuatan syaithan” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Nudhatun-Nadhar halaman 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533).
Buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadits masyhur, antara lain :
1. Al-Maqaashidul-Hasanah fiimaa Isytahara ‘alal-Alsinah, karya Al-Hafidh As-Sakhawi.
2. Kasyful-Khafa’ wa Muzilul-Ilbas fiimaa Isytahara minal-Hadiits ‘alal Asinatin-Naas, karya Al-Ajluni.
3. Tamyizuth-Thayyibi minal-Khabitsi fiimaa Yaduru ‘alaa Alsinatin-Naas minal-Hadiits, karya Ibnu Daiba’ Asy-Syaibani.
4. Asna Al-Mathalib oleh Syekh Muhammad bin Sayyid Barsiwi.
2. Hadits ‘Aziz
’Aziz menurut bahasa adalah  yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat.
’Aziz menurut istilah ilmu hadits adalah : Suatu hadits yang perawinya tidak lebih dari dua orang dalamsemua thabaqat sanad.
Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda :
لا يؤمن أحدكم حتٌى أكون أحبٌ إليه من نفسه ووالده وولده والناس أجمعين
”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Keterangan : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan diriwayatkan pula oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma.
Susunan sanad dari dua jalan tersebut adalah : Yang meriwayatkan dari Anas = Qatadah dan Abdul-‘Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan Sa’id. Yang meriwayatkan dari Abdul-‘Aziz adalah Isma’il bin ‘Illiyah dan Abdul-Warits.
3. Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya.
Hadits gharib menurut istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri.
Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib).
Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard.     
Pembagian Hadits Gharib
Hadits gharib dilihat dari segi letak sendiriannya dapat terbagi menjadi dua macam :
1. Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq
 Yaitu bilamana kesendirian (gharabah periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

 إنٌماالأعمال بالنيٌات 
                     
            ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
 Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
2. Gharib Nisbi, disebut juga : AL-Fardun-Nisbi
 Yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut.
Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallahu’anhu  :
أمرنارسول الله صلى الله عليه وسلٌم أن تقرأ بفاتحة الكتاب وماتيسٌرمنه
“Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kami agar kita membaca Al-Fatihah dan surat yang mudah dari Al-Qur’an”
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
b.Faedah   hadis   ahad
     
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh. 

Readmore »»