Minggu, 07 Agustus 2011

CARA TAHAMMUL HADITS (MENERIMA HADITS) DAN LAFADZ-LAFADZ YANG DIPAKAI UNTUKNYA

Jalan mentahamulkan/menerima hadits ada delapan macam:

1. Mendengar perkataan guru
Jalan pertama ini adalah jalan yang paling tinggi yaitu dengan mendengarkan guru aik syaikh sedang mengimlakkan dari sesuatu kitab, dari hafadhannya, ataupun dengan tidak mengimlakkan

2. Dengan jalan ilmu musthalah dengan ‘Ardl
Yaitu kita membaca sesuatu kitab kepada seorang guru atau kita baca hafalan kita kepada seorang guru, atau kita memperhatikan pembacaan seseorang yang membacanya, baik dari kitabnya ataupun dari hafalannya. Riwayat melalui jalan ini dibolehkan (dibenarkan) dengan syarat guru itu seorang yang benar menghafadh apa yang dibaca di hadapannnya atau memegang kitab yang menjadi asal bagi kitab yang dibaca oleh seorang muridnya itu, atau kitab tersebut dipegang oleh seseorang lain yang kepercayaan.


3. Melalui ijazah
Yang menurut bahasa berarti memotong, melaksanakan, membenarkan seperti ajazal aqda’ artinya membenarkan akad itu (dia menyatakan syahnya akad itu). Ijazah ini terdiri dari 4 unsur:
• Mujez, yaitu syaikh yang memberikan ijazah
• Mujaz, yaitu yang menerima ijazah
• Mujaz bihi, yaitu kitab atau juz dan seumpamanya
• Lafadz ijazah, yaitu ibarat yang menunjukkan kepada keizinan periwayatan
Para ulama’ berselisih tentang bolehkan kita meriwayatkan hadits yang kita terima
dengan jalan ijazah? Segolongan Muhadditsien Syamsal Syu’bah, Ibrahim al Harbi, Abu Naser Al Waili tidak membolehkan. Pendapat ini dikuatkan juga dari Abu Haniefah, Malik dan seluruh riwayat dari Asy Syafi’i.
Abu Amer Al Auz’y tidak membolehkan kita meriwayatkan sesuatu hadits yang kita terima dengan jalan ijazah ini, tetapi boleh kita amalkan sendiri.
Macam-macam ijazah:

a. Ijazah Khash li khash, yaitu seseorang Syaikh menentukan orang dan menentukan kitab yang dimaksudkan itu , seperti yang ia katakan:
“Saya telah ijazahkan kepada engkau Shahih al Bukhori”

b. Ijazah Khas bi ‘Aam, yaitu menentukan orang yang diberikan ijazah dengan tidak menentukan kitab-kitab yang diijazahkan ataupun hadits, seperti yang ia katakan:
“Aku ijazahkan kepada engkau segala hadits yang telah aku dengar”
Atau
“Aku ijazahkan kepada kamu segala hadits yang telah aku dengar”
c. Ijazah ‘Aam bi ‘Aam, yaitu “Tidak menentukan orang yang menerima ijazah dan tidak pula menentukan hadits-hadits yang ditenukan”, seperti yang dikatakan:
“Aku ijazahkan kepada setiap orang, segala yang aku riwayatkan”
Atau
“Aku ijazahkan kepada segala orang islam segala hadits-hadits yang aku riwayatkan”
d. Ijazah Mu’aiyan bi Majhul atau ijazah Majhul li Mu’aiyan, yaitu mengijazahkan kepada orang yang tertentu kitab-kitab yang tidak ditentukan, seperti yang dikatakan:
“Aku ijazahkan kepada engkau sebagian hadits-hadits yang aku riwayatkan”
e. Mengijazahkan apa yang dia sendiri tidak menerimanya dari seorang guru, baik secara sama’ ataupun secara ijazah
“Seperti yang ia katakan aku ijazahkan kepada si Fulan shohih Al Buhori”

f. Ijazatul Mujaz, yaitu mengijazahkan apa yang kita terima secara ijazah, seperti yang dikatakan:
“Aku ijazahkan kepada engkau segala apa yang telah diijazahkan kepadaku meriwayatkannya”
Lafadh-lafadh yang dipakai dalam ijazah:
“Aku ijazahkan dia atau aku ijazahkan kepadamu”

4. Munawallah
Maksudnya seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkan darinya.
Macam-macam mulawallah:

a. Munawallah yang menyertai ijazah, adalah sebagai berikut:
Inilah riwayatku atau haditsku dari si Fulan, maka riwayatkanlah dia dari padaku.

b. Munawalah yang tidak menyertai ijazah, seperti seseorang guru memberikan sesuatu kitab kepada seorang murid seraya berkata,
“Ini, hadits yang telah aku dengar dari guru”
Atau
“Ini, dari haditsku”
Lafadh-lafadh yang diterima melalui jalan munawallah dengan memakai perkataan:
“Haddasana: dia telah menceritakan kepada kami”
Atau
“Akhbarana: dia telah mengabarkan kepada kami”


5. Mukatabah
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yag ada di hadapannya, atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya
Mukatabah ada dua bagian:

a. Mukatabah disertai dengan ijazah

b. Mukatabah tanpa disertai dengan ijazah
Lafadh-lafahd yang dipakai dengan jalan ini adalah:
“Telah diceritakan kepada aku oleh si Fulan secara tertulis”

6. I’lam As Syaikh
Maksudnya seorang Syaikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya atau diambilnya dari seseorang.

7. Al Washiyyah
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum berpergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya, bentuk ini adalah bentuk tahammul yang amat langka.

8. Al Wijadah (Penemuan)
Kata Al wijadah dengan kasroh wawu merupakan konjunggasi dari kata wajada-yajidu bentuk yang analogis. Ulama’ hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shohifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah atau proses menawarkan.
Misalnya saorang menemukan kitab hasil tulisan orang sesamanya dan telah mngenal dengan baik tulisannya itu baik ia pernah bertemu atau tidak
Lafadh-lafadh yang pernah dipakai dengan jalan wijadah ialah:
“Saya dapati dalam kitab si Fulan”
”Saya membaca dalam khath (tulisan si Fulan)”
“Saya baca dalam kitabnya yang ditulis dengan khathnya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar