Minggu, 07 Agustus 2011

PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUALITAS SANAD DAN MATANNYA

( HADITS SHAHIH, HADITS HASAN DAN HADITS DHAIF)
I. HADITS SHAHIH

A.     Definisi

1. Definisi Ibn ash-Shalah.
Abu Amr ibn ash-shalah mengatakan :
“Hadits shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil yang melalui periwayatan orang yang adl lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syad dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).
2. Definisi Imam Nawawiy
“Hadits shahih adalah hadits yang miuutashil sanadnya melalui (periwayatan) orang-orag yang adil lagi dhabit tanpa syad dan ‘illat.

Dari uraian di atas jelaslah, bahwa hadits shahih harus memenuhi lima syarat :
a).  Muttashil sanadnya. Dikecualikan hadits munqothi’, mu’dhal, mu’allaq, mudallas     dan jenis lain yang tidak memenuhi kriteria muttashil ini.
b).  Perowi-perowinya adil. Yaitu orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan keperwiraannya.
c).  Perawi-perawinya dhobit. Yaitu orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadit, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya. Perawi harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkannya (bila ia meriwayatkan darihafaalannya) serta memahaminya (bila ia meriwayatkannya seca-ra makna). Dan harus menjaga tulisannya dari perubahan, penggantian ataupun penambahan, bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
d).  Yang diriwayatkan tidak syad. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah penyimpa- ngan oleh perawi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya.
e).  Yang diriwayatkan terhindar dari ‘illat qadihah (‘illat yang mencacatkannya), seperti memursalkan yang maushul, memuttashilkan yang munqothi’, ataupun memarfu’kan yang mauquf.

3. Definisi yang terpilih


          “Hadits shahih adalah hadits yang muttashilsanadnya melalui priwayatan perawi tsiqat dari perawi (lain) yang tsiqat pula, sejak awal sampai akhir sanad tanpa syudzudz dan tanpa ‘illat.

A.     Klasifikasi Hadits Shahih

   Hadits shahih terbagi menjadi dua :
a).  Shahih li Dzatihi.
    Yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti pengertian hadits shahih yang telah dijelaskan di atas.
b).  Shahih li Ghairihi.
      Yaitu hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misal-nya perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas intelektualnya rendah).

II. HADITS HASAN

A. Definisi
Definisi Ibn Hajar
            “Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih seluruhnya, hanya saja semua perawinya atau sebagiannya kedhabitannya lebih sedikit dibanding kedhabitan para perawi hadits shahih.

            Definisi yang terpilih
            “Hadits hasan adalah hadits yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adilyang lebih rendah kedhabitannya tanpa syad dan tanpa ‘illat.

  1. Klasifikasi Hadits Hasan
            Hadits hasan terbagi menjadi dua ;
            a).  Hasan li Dzatihi
                  “Hadits yang kehasanannya muncul karena memenuhi syarat-syarat tertentu,    bukan karena faktor lain diluarnya.
            b).  Hasan li Ghairihi
                  “Hadits yang didalamnya terdapat perawi “mastur” yang belum tegas kualitasnya, tetapi bukan perawi yang pelupa atau sering melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan “muttaham bil kidzb” dalam hadits, juga bukan karena sebab lain yang dapat menyebabkannya tergolong fasik, tapi dengan syarat mendapatkan penguat dari perawi lain yang mu’tabar, baik berstatus muttabi’ maupun syahid.

Imam adz-Dzahabi mengatakan : “Tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari ka- keknya, Ibnu Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian ulama’ dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.

Sedangkan sanad yang diperselisihkan antara hasan dan dha’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.

III. HADITS DHA’IF

A. Definisi
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima”. Mayoritas ulama’ menyatakan : Hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.

  1. Klasifikasi Hadits dha’if
Hadits dha’if  banyak sekali jenisnya dan banyak sekali sebab-sebab kedha’ifannya. Sebab-sebab itu dapat dikembalikan pada satu diantara dua sebab pokok, yaitu:
            Hadits-hadits dha’if karena ketidakmuttashilan sanadnya yaitu:
           
1).  Hadits Mursal
                  “Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada Rosul SAW., baik berupa  sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’iy itu kecil atau besar.”
           
            Menurut ulama’ fiqh dan ushul, hadits mursal adalah hadits yang perawinya melepas-kannnya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya.
            Hukum Mursal Tabi’iy
            a).  Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
            b).  Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
            c).  bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.

            2). Hadits Munqathi’
“Hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau di dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham.” Contoh  hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrozaq dari Al-Tsaury dari Abu Ishaq dari Zaid Ibnu Yutsai dari Hudzaifah secara marfu’.

            3). Hadits Mu’dhal
     “Hadits yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-  turut.”
            Contoh diriwayatkan dari sebagian ahli hadits perkataan para penulis fikih: bahwa “Rasulullah saw. Bersabda begini-begini,” Termasuk mu’dhal. Karena diantara para penulis itu dengan Rasulullah terdapat dua perawi atau lebih.

            4). Hadits Mudallas
                  Tadlis secara etimologis berasal dari kata ad-Dallas yang berarti “adz-dzulmah” (kedzaliman).
Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sini dapat diambil perngertian tadlis dalam sanad, yakni menyembunyikan suatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya.
      Tadlis ada dua jenis;
a.       Tadlis al-isnad yaitu seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan suatu dari orang semasanya yang tidak pernah ia temui sebelumnya, atau pernah bertemu tapi yang diriwayatkannya itu tidak didengarnya dari orang tersebut, dengan cara yang menimbulkan dugaan mendengar langsung. Misalnya, “Fulan berkata”, “Dari Fulan”, “Sesungguhnya Fulan melakukan begini begini”.

Mengenai hukum tadlis ada tiga pendapat ;
1.      Sebagian ulama’ mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis,   maka ia akan menjadi majruh dan tertolak riwayatnya secara mutlak.
2.      Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima, karena tadlis sama dengan irsal.
3.      sebagian yang lain mengatakan bahwa ditolak setiap hadits yang mengandung tadlis. Meskipun perawi itu diketahui hanya sekali melakukan tadlis, baik yang menggunakan kata yang mengandung kemungkinan sima’ dan tidak tanpa menjelaskan sima’ secara langsung tetap tidak bisa diterima.telah menjelaskan adanya sima’.

b.      Tadlis asy-Syuyukh yaitu perawi tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya memberi nisbat ataupun memeberikan sifat yang tidak lazim dikenal.
Misalnya pernyataan Abu Bakar ibn Mujahid al-Muqri bahawa telah meriwayat-kan kepada kami Abdullah ibn Abi Abdillah. Yang dimaksud adalah Abdullah ibn
Abi Daud as-Sijistani, pemilik as-sunan. Abu daud tekenal dengan kun-yah seperti itu, bukan dengan Abu Abdillah.

5).  Hadits Mu’allal
      “Hadits yang tersingkap didalamnya ‘illah qadihah, meski lahiriahnya tampak ter-bebas darinya”. ‘Illatnya kadang-kadang pada sanad, kadang pada matan dan kadang pada sanad dan matan sekaligus.

            Hadits-hadits dha’if karena selain ketidakmuttashilan sanad :
           
1).  Hadits Mudha’af
“Hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya.” Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian yang lain menilainya kuat. Akan tetai penilaian dha’if itu lebih kuat. Karena tidak ada istilah mudha’af untuk hadits yang penilaian kuatnya lebih kuat. Ibn al-Jauziy merupakan orang yang pertama kali melakukuan pemilahan terhadap jenis ini.
           
            2).  Hadits Mudhtharib
“Hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih”. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih, maka penilaian diberikan kepada yang rajih itu. Dan dalam kondisi seperti ini tidak lagi digunakan istilah mudhtharib, baik untuk yang rajih maupun yang marjuh. Kemudhthariban dapat terjadi pada satu perawi atau sanad dan matan, tapi juga dapat terjadi pada sanad dan matan sekaligus. 

Kemudhthariban mengakibatkan kedhaifan suatu hadits, karena menunjukkan ketidakdhabitan. Padahal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu keadaan. Yaitu bila terjadi ikhtilaf mengenai nama seseorang perawi atau nama ayahnya, ataupun nama nisbatnya. Dan perawi yang diikhtilafkan amanya itu berkualitas tsiqat. Sehinnga haditsnya tetap dihukumi shahih ataupun hasan, sesuai dengan pemenuhannya terhadap syrat-syarat masing-masing. Dan kemudhthariban seperti itu tidak berpengaruh, meski tetap disebut hadits mudhtharib.  



            3).  Hadits  Maqlub
“Hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi dari matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya”. Kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama seorang perawi. Misalnya Murrah Ibn Ka’b jadi Ka’b Ibn Murrah.

Kadang-kadang suatu hadits diriwayatkan melalui jalur  perawi atau dengan sanad yang telah popular. Lalu tertukar dangan perawi (lain) pada tingkatannya atau dengan sanad (lain) yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja.
Terkadang seorang perawi sengaja membalikkan dengan tujuan menunjukkan yang aneh dengan harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan darinya.
Ada juga sebagian ulama’ yang sengaja membalikkan beberapa hadits dengan tu-juan mengetes (orang lain), seperti yang mereka lakukan pada Imam Bukhori di Baghdad. Jenis ini dibolehkan, dengan syarat untuk tujuan menguji.

            4). Hadits Syadz      
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa hadits syad bukanlah hadits dimana perawi tsiqat meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Yang dimaksud hadits syad adalah “Hadits yang bila diantara sekian perawi tsiqot ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya.”

Kriteria syad adalah tafarrud(kesendirian perawinya) dan mukholafah (penyimpa-ngan). Jika ada seorang perawi yang berkualitas tsiqat melakukan pe-nyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits tanpa menyimpang dari yang lainnya, maka haditsnya shahih, bukan syad. Dan jika ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfudz, sedang yang marjuh disebut syadz.
Contoh syad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidziy dari hadits Abdul Wahid ibn Yazid dari al-A’masy dari Abu Shalehdari Abu Huroiroh secara marfu’:
“Jika salah seorang diantara kamu telah melakukan shalat dua raka’at fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya”.
Al-Baihaqiy berkata : bahwa abdul Wahid berbeda dengan sejumlah perawi (lain) dalam hal ini. Perawi lain meriwayatkan dari perbuatan Nabi saw., bukan sabda-nya Abdul Wahid juga melakukan penyendirian dari sekian murid Al-A’masy  

5).  Hadits Munkar
“Hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang berbeda dengan perawi-perawi lain yang tsiqat”. Oleh karena itu, criteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah. Jika ada seorang perawi dha’if melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits,tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsiqat, maka haditsnya  tidak munkar, tetapi dha’if. Bila haditsnya ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqat, maka yang rajih disebut ma’ruf, sedang yang marjuh disebut munkar.

6).  Hadits Matruk dan Mathruh
1.      Hadits matruk
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “ muttaham bi al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraanya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa”. Hadits matruk merupakan tingkat hadits dha’if terendah. Misalnya hadits-hadits Amr Ibn Syamr dari Jabir al-Ja’fiy.

2.      Hadits matruh
 Al- Hafidz Adz-dzahabiy menjadikannya segagai jenis tersendiri. Beliau mengambil istilah itu dari tema ulama’ “Fulan Mathruh  al-Hadits” (seseorang yang terlempar haditsnya). Beliau mengatakan “Ia masuk dalam daftar hadits-hadits perawi dha’if lagi tertinggal haditsnya.

4 komentar: